Jumat, 09 April 2010

Belajar


Saya punya kegiatan baru. Setiap malam mulai pukul 18.30, saya duduk manis menemani D belajar. Bukan belajar yang sulit-sulit, cuma belajar menulis huruf dan angka. Tapi benar-benar menguras tenaga. Pasalnya setiap baru menulis satu huruf D minta dipuji, selesai dipuji, ia bercerita, selesai bercerita, menawar, memohon untuk bisa kembali nonton televisi.

Dalam proses belajar itu, saya membujuk, memuji, melotot, membentak, pura-pura ngambek, berbohong( demi kebaikan), berjanji, dsb. Melelahkan. Kadang saya mau menyerah, saya pikir toh D baru empat tahun, kalo belum bisa baca tulis yah wajar-wajar saja.

Tapi pelajaran di sekolah D, malah seharusnya sudah bisa berhitung dan menulis dan mengenal huruf. Bukannya D tidak bisa sama sekali, seringkali kalo ditanya, jawabnya asal-asalan.

Saya nyaris menyerah, malah saya sempat berhenti menemani belajar selama berbulan-bulan karena kemalasan saya dan kesibukan setelah melahirkan. Saya biarkan D tidak mengulang pelajarannya lagi di rumah.

Sampai suatu ketika saya membaca sebuah cerita tentang Ibu yang baik yaitu Ibu Meng, ibu dari Mencius(He was an itinerant Chinese philosopher and sage, and one of the principal interpreters of Confucianism. Supposedly, he was a pupil of Confucius' grandson, Zisi).

Mencius kehilangan ayahnya ketika ia berusia tiga tahun, ibunya bekerja sebagai penenun untuk bertahan hidup. Suatu ketika Mencius pulang dari sekolah lebih cepat dari biasanya.
"Kenapa kamu pulang lebih cepat hari ini?" tanya ibunya sambil tetap menenun.
"Saya sangat merindukanmu, Ibu."
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ibu Meng mengambil pisau dan memotong benang pada alat tenun tepat di tengahnya. Mencius sangat terkejut.
"Bagimu menunda belajarmu di sekolah adalah sama seperti saya memotong benang pada alat tenun. Kita sangat miskin. Itulah alasan kenapa saya harus bekerja keras. Kamu harus belajar dengan keras untuk membangun dirimu sendiri. Jika kamu tidak berkonsentrasi pada pelajaranmu dan berhenti di tengah jalan, kita tidak akan pernah keluar dari lingakaran kemiskinan. Kita akan terus hidup dalam ketidakpastian.

Cerita ini seperti mengingatkan saya untuk selalu membimbing anak. Walaupun kami tidak dalam kondisi miskin sekali, saya selalu berharap anak saya bisa mencapai lebih dari yang saya capai.

Saya tidak bermimpi anak saya jadi naga, seperti yang ditulis Joseph Landri dalam buku Mimpi Anak Jadi Naga. Justru karena saya sadar anak saya bukan anak jenius, saya harus bekerja ekstra membimbingnya dalam belajar.

Setiap orang tua mempunyai harapan yang tinggi pada anaknya.






Tidak ada komentar: